Peran Perempuan dalam Politik menurut Yusuf Al-Qardhawi

Authors

  • Asif Trisnani Universitas Darussalam Gontor
  • Wenning Windiarti Universitas Islam Negeri Samarinda
  • Hidayatus Sa'adah Pondok Pesantren Darun Nafi’ Samboja

DOI:

https://doi.org/10.21111/klm.v19i2.6412

Keywords:

Political, Woman, Yusuf Al-Qardhawi

Abstract

Today women in the political stage are actually not a stranger in the world since ancient times. The direct or indirect role of women has its own influence. The discourse of women's involvement in politics by providing a 30% quota, is still a controversial discourse, as well as other gender equality issues. In essence, women and men have the same rights and obligations in law and government, as stated in article 27 paragraph 1 UUD 1945.Many women refuse by limiting women's steps. One view states that women should stay at home, serve their husbands, and only have a domestic role and should not be involved in politics. This view is reinforced by the fuqaha. The famous contemporary scholar of this century Yusuf Al-Qardhawi who has different views and opinions on the involvement of women in politicsHe sees that the above argument is not only textual, but the context must also be considered and considers men and women to be a mukallaf, required to worship Allah, uphold religion, carry out obligations, perform amar ma'ruf nahi munkar, have the same rights to choose and be elected, so that there is no strong argument for the prohibition of women from participating in politicsAl-Qardhawi allows women to carry out social roles as judges with some special terms and conditions. Because according to him, this position does not conflict with social interests. On the contrary, social interests actually require the involvement of women. With this, it can be said that the fatwa above emerged due to socio-political influences. In this case, al-Qardhawi is moderate. Whereas in the matter of the president, the representative council is not at all identical with the leadership of a caliph or amirul mu'minin who is individual but the leadership of the president, the representative council that is currently developing is collective, not individual.

Author Biography

Hidayatus Sa'adah, Pondok Pesantren Darun Nafi’ Samboja

Politik Perempuan Dalam Pandangan Yusuf Al-QardhawiWenning Windiarti Universitas Islam Negeri Samarindawindiartiwenning@gmail.comHidayatus Sa’adahUniversitas Islam Negeri Samarindahidayatussaadah65@gmail.comYunidar Ayu Ningrum Universitas Darussalam Gontoryuyunningrum@gontor.ac.idAbstractToday women in the political stage are actually not a stranger in the world since ancient times. The direct or indirect role of women has its own influence. The discourse of women's involvement in politics by providing a 30% quota, is still a controversial discourse, as well as other gender equality issues. In essence, women and men have the same rights and obligations in law and government, as stated in article 27 paragraph 1 UUD 1945.Many women refuse by limiting women's steps. One view states that women should stay at home, serve their husbands, and only have a domestic role and should not be involved in politics. This view is reinforced by the fuqaha. The famous contemporary scholar of this century Yusuf Al-Qardhawi who has different views and opinions on the involvement of women in politicsHe sees that the above argument is not only textual, but the context must also be considered and considers men and women to be a mukallaf, required to worship Allah, uphold religion, carry out obligations, perform amar ma'ruf nahi munkar, have the same rights to choose and be elected, so that there is no strong argument for the prohibition of women from participating in politicsAl-Qardhawi allows women to carry out social roles as judges with some special terms and conditions. Because according to him, this position does not conflict with social interests. On the contrary, social interests actually require the involvement of women. With this, it can be said that the fatwa above emerged due to socio-political influences. In this case, al-Qardhawi is moderate. Whereas in the matter of the president, the representative council is not at all identical with the leadership of a caliph or amirul mu'minin who is individual but the leadership of the president, the representative council that is currently developing is collective, not individual.Keyword : Political, Woman, Yusuf Al Qardhawi   A.    PendahuluanKeterlibatan perempuan dalam panggung politik sebenarnya bukanlah hal yang asing di dunia sejak zaman dahulu. Peranan langsung maupun tidak langsung para perempuan memiliki pengaruh tersendiri. Tidak heran, jika perbincangan mengenai keterlibatan perempuan dalam wilayah politik merupakan topik hangat di masa lalu, sekarang, dan mungkin akan terus di perbincangkan pada masa mendatang. Wacana keterlibatan perempuan dalam dunia politik dengan memberikan kuota 30%, masih menjadi wacana kontroversi,[1] serta isu-isu kesetaraan gender lainnya. Sebagai bagian dari warga negara, perempuan Indonesia secara normatif sudah diakui secarah sah.[2] Pada hakikatnya perempuan dan laki-laki memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam hukum dan pemerintahan, seperti yang terdapat dalam pasal 27 ayat 1 UUD 1945.[3] Banyak kalangan perempuan yang menolak dengan membatasi langkah perempuan. Sementara ini, pandangan yang berkembang dalam masyarakat, masih menjadi dua kutub yang bersebrangan. Satu pandangan menyatakan perempuan harus di dalam rumah, mengabdi kepada suami, dan hanya mempunyai peran domestik dan tidak boleh berpolitik. Pandangan ini diperkuat oleh kalangan fuqaha,[4] bahwa peran perempuan dalam politik selalu mengundang perdebatan dan perbedaan pendapat. Ini terjadi karena secara eksplisit, al-Qur’an dan as-Sunnah tidak menyebutkan dengan tegas perintah maupun larangan bagi perempuan untuk menjadi pemimpin. Mayoritas ulama fiqh terutama dari kalangan salaf hampir sepakat melarang perempuan menjadi pemimpin,[5] dengan landasan firman Allah SWT “kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita ....”[6]dan hadits Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyatakan bahwa “tidak akan beruntung suatu kaum yang mana urusan mereka dipimpin oleh wanita”.[7] Pandangan lain menyatakan perempuan mempunyai kemerdekaan untuk berperan, baik di dalam maupun di luar rumah demikian juga dalam bidang politik.[8] Fenomena-fenomena inilah yang menghasilkan perbincangan bagaimana kedudukan perempuan dalam Islam dan seperti apa pandangan Islam terhadap perempuan yang berpolitik dan bahkan menjadi pemimpin dalam lembaga pemerintahan.Lain halnya dengan ulama kontemporer ternama abad ini Yusuf Al-Qardhawi yang memiliki pandangan dan pendapat yang berbeda terhadap keterlibatan perempuan dalam bidang politik. Ia melihat dalil di atas tidak sebatas tekstual, melainkan harus diperhatikan pula konteksnya dan menganggap laki-laki serta perempuan adalah seorang mukallaf,[9] dituntut untuk beribadah kepada Allah, menegakan agama, melaksanakan kewajiban, melakukan amar ma’ruf nahi munkar, memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih, sehingga tidak ada dalil yang kuat atas larangan perempuan untuk berpolitik. Maka, melalui tulisan ini akan diuraikan bagaimana pandangan Yusuf al-Qardhawi mengenai politik bagi perempuan.  B.     Biografi Yusuf Al-QardhawiYusuf  al-Qardhawi nama lengkapnya adalah Yusuf bin Abdullah bin Yusuf bin Ali al-Qardhawi. Lahir pada tanggal 9 September 1926[10] di sebuah desa bernama Shafat Turab dan kota Al-Mahallah Al-Kubra, yang merupakan kota kabupaten (markaz) paling terkenal di provinsi Al-Gharbiyyah,[11] salah satu provinsi yang berada di tepi laut Republik Arab Mesir. Beliau dibesarkan dalam keluarga agamis yang hidup sederhana.Ketika berumur dua tahun, ayahnya meninggal dunia. Sepeninggal ayahnya, ia diasuh dan dibesarkan oleh pamannya. Ia mendapatkan perhatian yang besar dari pamannya, sehingga ia menganggap pamannya seperti orang tua sendiri. Keluarga pamannya pun juga taat dalam menjalankan agama, tak heran jika al-Qardhawi menjadi orang yang kuat dalam menjalankan agama.Pada usia lima tahun, ia disekolahkan oleh pamannya untuk belajar dan menghapal al-Qur’an. Kemudian pada usia tujuh tahun, ia masuk sekolah Al-Ilzamiyyah.[12] Ia tercatat sebagai murid yang berprestasi tinggi, sehingga sebelum usianya genap sepuluh tahun telah berhasil menghapal al-Qur’an. Setelah selesai dari Al-Ilzamiyyah, ia melanjutkan sekolahnya ke Madrasah Ibtidaiyyah Thantha dan menyelesaikannya hanya dalam kurun waktu empat tahun. Kemudian dilanjutkan ke Tsanawiyah dan dapat menyelesaikan sebelum waktunya.[13]Selanjutnya al-Qardhawi melanjutkan studinya pada Fakultas Ushuluddin di Universitas Al-Ahzar dan lulus sebagai sarjana S1 pada tahun 1952 sebagai ranking pertama dari seratus delapan puluh mahasiswa.[14] Kemudian melanjutkan S2 pada jurusan Bahasa Arab dengan konsentrasi pada pendidikan dan pengajaran. Setelah itu, ia masuk ke Lembaga kajian dan Pengembangan Bahasa Arab Internasional dan berhasil memperoleh gelar diploma pada jurusan Bahasa dan Adab. Pada tahun yang sama, beliau masuk pendidikan tinggi S3 qismud dirasah bidang al-Qur’an dan Sunnah di Fakultas Ushuluddin dan menyelesaikannya pada tahun 1960. Dan akhirnya pada tahun 1973, kecermelangan al-Qardhawi kembali terlihat saat berhasil meraih gelar Doktor dengan gelar Summa Cumlaude dengan disertasi berjudul; Al-Zakah wa Atsaruha fi Al-Masykil Al-Ijtimaiyyah (Zakat dan pengaruhnya dalam memecahkan masalah-masalah social kemasyarakatan).[15]Pada tahun 1961, al-Qardhawi ditugaskan ke Negara Qatar sebagai direktur Lembaga Pendidikan Agama Tingkat Menengah. Pada tahun 1973, berdirilah fakultas Tarbiyah yang merupakan cikal bakal Universitas Qatar dan ia sebagai pendiri jurusan Studi Islam sekaligus menjadi ketuanya. Pada tahun 1977, ia merintis pendirian dan sekaligus menjadi dekan pertama Fakultas Syari’ah dan Studi Islam di Universitas Qatar hingga akhir tahun ajaran 1989-1990.Sebagai ulama terkemuka zaman ini, Yusuf al-Qardhawi telah mimiliki berbagai karya. Ia banyak menekuni bidang disiplin ilmu, di antaranya pemikiran, dakwah, pendidikan, pergerakan, fiqh dan ushul fiqh, al-Qur’an dan Sunnah, dan lain sebagainya. Pengabdiannya terhadap Islam tidak terbatas hanya pada satu sisi saja, hingga saat ini konribusinya sangat dirasakan umat di seluruh dunia.C.    Politik1.      Pengertian PolitikMengenai politik sering dikaitkan dengan bermacam-macam kegiatan dalam sistem politik ataupun negara yang menyangkut proses penentuan tujuan maupun dalam melaksanakan tujuan. Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari kehidupan negara yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat, ilmu politik mempelajari negara-negara itu dengan melakukan tugas-tugasnya.[16] Jadi, dalam hal ini dinyatakan bahwa politik digunakan untuk merujuk kepada ilmu pemerintahan, partisipasi dalam urusan pemerintahan, metode mempengaruhi kebijakan negara, dan prinsip-prinsip berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat perlu diatur dan ditata.Politik dalam literasi Islam dikenal dengan istilah siyasah yang merupakan bentuk masdar atau kata benda dari kata sasa, (ساس – يسوس – سياسة - سياسية) memiliki banyak makna yaitu mengemudi, mengendalikan, pengendali, cara pengendalian, mengatur (relegen), mengurus (besturen), dan memerintah (sturen), seperti para penguasa mengatur dan mengurus rakyat untuk mewujudkan kemaslahatan, dan juga mengatur urusan kehidupan masyarakat.[17] Pengertian secara kebahasaan ini mengisyaratkan bahwa tujuan siyasah adalah mengatur, mengurus dan membuat kebijaksanaan atas sesuatu yang bersifat politis untuk mencapai sesuatu.[18] Secara istilah politik islam adalah pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’.[19]Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan bahwa siyasah adalah pengaturan perundangan yang diciptakan untuk memelihara ketertiban dan kemaslahatan serta mengatur keadaan.[20] Selain itu, Al-Bahasnawi memberikan definisi lebih terfokus pada tujuan syari’at yaitu kemaslahatan umat: “politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia”.[21]Sedangkan Imam Syafi’i memberi definisi bahwa politik adalah hal-hal yang bersesuaian dengan syara’. Pengertian ini dijelaskan oleh Ibnu Agil bahwa politik adalah hal-hal praktis yang lebih mendekati kemaslahatan bagi manusia dan lebih jauh dari kerusakan meskipun tidak digariskan Rasulullah saw. atau dibawa oleh wahyu Allah SWT.[22]Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa siyasah merupakan salah satu aspek hukum Islam yang membicarakan pengaturan dan pengurusan kehidupan manusia dalam bernegara demi mencapai kemaslahatan bagi manusia itu sendiri.2.      Tujuan Politik IslamTujuan sistem politik Islam adalah untuk membangun sebuah sistem pemerintahan dan kenegaraan yang tegak untuk melaksanakan seluruh hukum syariat Islam. Tujuan utamanya ialah menegakkan sebuah negara Islam atau Darul Islam. Dengan adanya pemerintahan yang mendukung syari'ah, maka akan tertegaklah ad-Din dan segala urusan manusia menurut tuntutan-tuntutan ad-Din tersebut. Para fuqaha telah menggariskan sepuluh perkara penting sebagai tujuan sistem politik dan pemerintahan Islam:[23]Pertama, memelihara keimanan menurut prinsip-prinsip yang telah disepakati oleh ulama salaf daripada kalangan umat Islam. Kedua, melaksanakan proses pengadilan dikalangan rakyat dan menyelesaikan masalah di kalangan orang-orang yang berselisih. Ketiga, menjaga keamanan daerah-daerah Islam agar manusia dapat hidup dalam keadaan aman dan damai. Keempat, melaksanakan hukum-hukum yang telah ditetapkan syara’ demi melindungi hak-hak manusia. Kelima, menjaga perbatasan negara dengan pelbagai persenjataan bagi menghadapi kemungkinan serangan daripada pihak luar. Keenam, melancarkan jihad terhadap golongan yang menentang Islam. Ketujuh, mengendalikan urusan pengutipan cukai, zakat dan sedekah sebagai mana yang ditetapkan oleh syara'. Kedelapan, mengatur anggaran belanjawan dan perbelanjaan daripada perbendaharaan negara agar tidak digunakan secara boros ataupun secara kikir. Kesembilan, mengangkat pegawai-pegawai yang cekap dan jujur bagi mengawal kekayaan negara dan menguruskan hal ihwal pentadbiran negara. Kesepuluh, menjalankan pengaulan dan pemeriksaan yang rapi di dalam hal ihwal amam demi untuk memimpin negara dan melindungi ad-Din.D.    Pandangan Ulama Terhadap Politik PerempuanPerempuan dan politiknya dapat digambarkan yaitu segala hal yang bisa dilakoni dan dapat diperankan perempuan dalam kegiatan, baik menyangkut tentang kegiatan sosial kemasyarakatan maupun kegiatan yang terkait dengan kepentingan-kepentingan perempuan itu sendiri.[24] Dan secara khusus terkait dengan keterlibatan kaum perempuan dalam kiprah politiknya dilihat dari sudut pandang hukum Islam.Pembicaraan tentang politik perempuan terutama dalam konteks kepemimpinan haruslah beranjak dari visi Islam yang kehadirannya sebagai rahmat untuk seluruh alam, termasuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan.[25] Dari visi ini terkandung pengakuan keutuhan manusia sebagai pribadi yang bermartabat karena status kemanusiannya.Prinsip umum yang sudah menjadi konsensus[26] umat adalah bahwa semua kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum-hukum syariat, kecuali ada keterangan nash atau ijma’ yang mengkhususkannya.[27] Seperti yang dikutip oleh Ali Muhammad Ash-Shallabi dalam kitab Fi Al-Fiqh As-Siyasi karangan Farid Abdul Khaliq, Asy-Syathibi mengatakan, “Laki-laki dan perempuan secara garis besar memiliki posisi yang sama dalam hal taklif (beban hukum). Kemudian ada taklif yang memang hanya diperuntukkan bagi kaum perempuan dan ada taklif yang hanya diperuntukkan bagi laki-laki.”[28]Namun, kebanyakan ulama lebih memilih penafsiran yang memerintahkan kaum perempuan untuk berada di rumah dan tidak ikut campur dalam kehidupan publik. Mereka berargumen bahwa kaum perempuan itu tidak mampu mengendalikan urusan-urusan publik; oleh karena itu, yang lebih baik bagi perempuan adalah melakukan pekerjaan yang memang mereka kuasai dengan baik – yaitu, menjadi ibu dan istri saja[29] dan perempuan haram menduduki jabatatan kekhalifahan.[30]Ayat-ayat al-Qur’an yang sering menjadi landasan tentang hal di atas adalah sebagai berikut:اَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًاArtinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka ….”[31]Dalam surah lain disebutkan laki-laki mempunyai derajat yang lebih tinggi dari perempuanوَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ ࣖArtinya: “…. Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan (istrinya)….”[32]Imam al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jāmi'u li Ahkāmil Qur’ān (Juz 1: 270), menyatakan bahwa: “Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya perempuan menjadi qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian perempuan dalam pengadilan.”Hujjat al-Islam Muhammad Abu Hamid al-Ghazali pun mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan itu tidak sah, meskipun ia menyandang segala sifat kesempurnaan dan dapat mengambil tindakan mandiri.[33]Beberapa ulama menjadikan dalil-dalil berikut sebagai dalil tentang dibolehkannya seorang perempuan mencalonkan diri untuk menempati jabatan-jabatan publik (al-wilayah al-‘ammah) kecuali imamah uzhma (kekuasaan dan kepemimpinan tertinggi).[34] Al-Qur’an membebankan kepada laki-laki dan perempuan tanggung jawab menegakkan masyarakat dan membenahinya, yang dalam Islam lazim disebut amar ma’ruf nahi munkar. Allah berfirman,وَالْمُؤْمِنُوْنَ وَالْمُؤْمِنٰتُ بَعْضُهُمْ اَوْلِيَاۤءُ بَعْضٍۘ يَأْمُرُوْنَ بِالْمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلٰوةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكٰوةَ وَيُطِيْعُوْنَ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ ۗاُولٰۤىِٕكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌArtinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[35]Dalam hal ini al-Qur’an juga menyebutkan beberapa ciri orang-orang yang beriman, setelah menyebutkan beberapa ciri orang-orang munafik sebagai berikut,“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang Munkar dan melarang berbuat yang ma'ruf dan mereka menggenggamkan tangannya mereka telah lupa kepada Allah, Maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik.”[36]Jika perempuan-perempuan munafik berdiri di samping kaum laki-laki munafik memainkan peranan untuk merusak masyarakat, maka wanita-wanita mukminah harus memainkan peranan untuk membenahi masyarakat di samping kaum laki-laki muslimin. Allal al-Fasi melihat bahwa ayat ini menetapkan al-wilayah al-muthlaqah (kewenangan, kompetensi, otoritas mutlak) bagi kaum perempuan mukminah sama halnya dengan kaum laki-laki. Kemudian Allal al-Fasi juga menambahkan bahwa al-Qur’an menyatakan tentang musyawarah antara suami dan istrinya dalam urusan perkawinan,[37] “….Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, Maka tidak ada dosa atas keduanya….”[38]Jika musyawarah dikehendaki sampai sedemikian rupa dalam urusan rumah tangga dan keluarga, maka apalagi dalam urusan yang lebih besar, yaitu bangsa dan Negara.[39]Dari pemaparan tersebut perlu kita ketahui bahwa tidak bisa dipungkiri keterlibatan perempuan di politik itu merupakan hak perempuan itu sendiri. Islam memberikan kesempatan kepada kaum perempuan yang berkecimpung dalam kegiatan politik, ini bisa terlihat pada banyak ayat dalam al-Qur’an yang memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar.[40] Ini berlaku untuk segala macam kegiatan, tidak terkecuali dalam bidang politik dan kenegaraan. Perempuan juga turut bertanggungjawab dalam hal ini.[41]   E.     Politik Perempuan dalam Pandangan Yusuf Al-QardhawiBerpolitik adalah sebuah kewajiban hukum yang harus dilakoni oleh setiap manusia; apakah berupa kewajiban utama (fardhu ‘ain) atau kewajiban tambahan (fardhu kifayah). Berpolitik bukanlah pekerjaan yang dianjurkan, atau dianggap baik mengerjakannya, atau tidak mengapa meninggalkannya. Akan tetapi, berpolitik adalah wajib hukumnya berdasarkan pemahaman pengambilalihan kekuasaan, yang mana pengambilalihan kekuasaan adalah sebuah kelaziman yang diwajibkan dan dipaksakan kepada setiap muslim laki-laki dan perempuan.[42]1.         Perempuan Menjadi Kepala NegaraDi kalangan fuqaha hampir sepakat bahwa seorang perempuan tidak diperbolehkan atau dilarang menjadi seorang kepala negara, karena identik dengan seorang imam atau khalifah.[43] Menurut al-Qardhawi, ada tiga bentuk argumentasi yang sering dikemukakan oleh ulama dalam melarang perempuan menduduki jabatan presiden (khalifah) atau jabatan kepala negara dan sejenisnya.[44]Pertama, QS. An-Nisā ayat 34.[45] Ayat ini menyebutkan kepemimpinan laki-laki atas perempuan.[46] Kemudian kepemimpinan itulah derajat yang diberikan kepada laki-laki sebagaimana dalam firman Allah.[47]Kedua, hadits yang diriwayatkan Imam Bukhari dari Abu Bakrah, “Tidak akan beruntung suatu kaum yang mana urusan mereka dipimpin oleh wanita,”[48] artinya pemimpin atas seluruh penduduk sebuah negeri, atau jabatan kepala negara, sebagaimana yang dapat dipahami dari kata-kata “amrahum” (urusan mereka), maksudnya adalah urusan kepemimpinannya mencakup semua urusan penduduk, yakni urusan kekuasaan dan kepemimpinan umum. Jika kepemimpinannya terdapat sebagian urusan penduduk, maka tidak mengapa perempuan menerima jabatan dimaksud, seperti jabatan memberi fatwa dan berijtihad, pendidikan, periwayatan dan pengajaran hadits, administrasi, dan sebagainya.[49]Ketiga, dikarenakan umumnya kemampuan fisik perempuan tidak sanggup untuk menanggung beban tersebut. Kata “umumnya”, sebab ada beberapa perempuan yang mempunyai kemampuan lebih dari laki-laki, seperti ratu Saba’ yang kisahnya disebutkan di dalam al-Qur’an pada surat al-Naml. Ratu Saba’ telah sukses memimpin kaumnya meraih keuntungan dunia dan akhirat, dengan memeluk Islam dan bersama Nabi Sulaiman tunduk kepada Allah. Akan tetapi, hukum dilahirkan dari kejadian yang umum dan banyak berlaku dan bukan kejadian yang jarang berlaku.[50]Dengan demikian, ulama melahirkan kaidah: Sesuatu yang jarang tidak mempunyai hukumnya.[51] Dalam menyikapi polemik ini, al-Qardhawi berlandaskan pada empat argumentasi:Pertama, QS. Al-Ahzāb ayat 33.[52] Menurut al-Qardhawi ayat ini khusus ditujukan kepada istri-istri Nabi sebagaimana tampak jelas dalam konteks kalimatnya. Para istri Nabi saw. terkenai aturan dan beban kewajiban yang berat, tidak seperti perempuan yang lainnya, mereka akan mendapatkan azab yang berlipat ganda bila mana melakukan keburukan, tetapi akan mendapatkan pahala yang berlipat ganda bila mereka melakukan amal saleh.[53] Meskipun sudah ada ayat ini, Aisyah masih keluar dari rumah, dan turut serta dalam Perang Jamal, demi memenuhi kewajiban agama, yaitu melaksanakan hukum qishash[54] terhadap orang-orang yang membunuh Utsman.Kedua, mengenai hadits “tidak beruntung suatu kaum yang menguasakan urusan mereka kepada perempuan”, apakah hadits ini diberlakukan atas keumumannya ataukah terbatas pada sebab wurudnya ?Disini Rasulullah ingin memberitahukan ketidakberuntungan bangsa Persia yang harus menerima sistem kerajaan turun-temurun harus mengangkat putri Kisra, walaupun di kalangan mereka ada orang yang jauh lebih mampu dan pantas. Ini menunjukkan bahwa sebab turunnya ayat atau hadits, harus dijadikan acuan dan rujukan dalam memahami teks, sementara keumuman lafal tidak dapat dijadikan sebagai kaidah yang baku.[55] Apabila hadits ini hanya dipahami menurut keumuman lafalnya saja, tentu berlawanan dengan ayat al-Qur’an yang menceritakan kisah seorang perempuan (Ratu Balqis) yang memimpin kaumnya dengan kepemimpinan yang bijaksana, adil, serta bertindak baik dan tepat.Ketiga, bahwa perempuan sebenarnya sudah biasa keluar dari rumahnya. Mereka pergi ke sekolah atau ke kampus, bekerja di berbagai sektor kehidupan, baik sebagai dokter, guru dosen, maupun sebagai tenaga administrasi di suatu kantor dan sebagainya, tanpa ada seorangpun yang mengingkarinya. Sehingga seolah-olah sudah menjadi semacam ijma’ tentang bolehnya perempuan bekerja di luar rumah dengan syarat-syarat tertentu.[56]Keempat, bahwa masyarakat modern di bawah sistem demokrasi, ketika mengangkat perempuan sebagai menteri atau jabatan lainnya, tidak berarti bahwa masyarakat itu menugaskan seorang perempan menjadi pemimpin dan menyerahkan segala persoalan kepadanya.[57]Dengan demikian, bisa dipahami bahwa pemerintahan seperti Margaret Thatcher di Inggris, Indira Gandhi di India bukanlah pemerintahan seorang perempuan terhadap suatu bangsa, tetapi merupakan pemerintahan suatu lembaga dan hukum, meskipun yang duduk di puncak kepemimpinannya seorang perempuan, tapi yang berkuasa sebenarnya adalah kabinet secara kolektif, tidak bersifat individu.2.      Perempuan Sebagai Dewan PerwakilanYusuf al-Qardhawi menyejajarkan kedudukan perempuan dengan laki-laki dalam perannya sebagai anggota dewan (DPR atau MPR). Artinya, baik perempuan maupun laki-laki sepenuhnya memiliki hak memilih dan hak dipilih.  Ia mengatakan:[58]“Perempuan adalah makhluk yang menerima perintah syariat sebagaimana laki-laki, di diperintahkan untuk menyembah Allah, menegakkan agamanya, menjalankan yang wajib dan meninggalkan yang diharamkan, menjaga batasan-batasan syariat dan mendakwahkannya, mengajak manusia kepada kebaikan dan mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar.” Dengan kata lain, semua perintah syariat di dalamnya meliputi perempuan, kecuali jika ada dalil tertentu yang mengkhususkan untuk laki-laki. Apabila Allah berfirman: “Wahai manusia” atau “Wahai orang-orang yang beriman”, maka perempuan juga tercakup di dalamnya.[59] Karena itu ketika Ummu Salamah ra. mendengar Rasulullah bersabda “Wahai manusia” padahal waktu itu Ummu Salamah sedang sibuk dengan pekerjaannya, ia bergegas menyambut panggilan tersebut. Sehingga sebagian orang merasa heran dengannya menyambut panggilan itu, lantas ia berkata kepada mereka, “Aku juga manusia.”[60]Kesejajaran perempuan dan laki-laki dalam hal menyuarakan haknya di lembaga adalah sesuatu yang sangat biasa dan wajar, bahkan dalam hal-hal tertentu yang menyangkut persoalan perempuan, merekalah yang lebih paham mengenai persoalan-persoalan tersebut.Dalam memahami ayat al-Qur’an pada surat An-Nisā ayat 34,“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka….”Al-Qardhawi menegaskan, yang dimaksud dalam ayat tersebut bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin kaum wanita berkaitan dengan kehidupan suami-isteri, bukan dalam urusan pemerintahan.[61] Lebih jauh lagi ia mengakatan, tidak ada satu dalil pun dari syara’ yang menghalangi keanggotaan perempuan di DPR atau MPR, karena pada dasarnya segala persoalan (keduniaan) itu diperbolehkan, kecuali ada teks yang tegas melarangnya. 3.      Perempuan Menjadi HakimMenurut al-Qardhawi masalah perempuan menjadi hakim adalah masalah yang telah lama diperbincangkan ulama fiqh. Mayoritas ulama melarang jabatan hakim bagi perempuan. Bahkan mereka menetapkan dalam kitab-kitab fiqh syarat-syarat menjadi hakim.[62] Mereka memasukkan jabatan hakim ke dalam bagian dari jabatan pemerintahan. Mereka berkata, Jabatan hakim menghendaki akal yang sempurna, dan wanita lemah akalnya. Jabatan hakim menginginkan sifat tega, sedangkan perempuan adalah makhluk pengasih yang mudah merasa kasihan.[63] Hal ini tidak terlepas dari adanya perbedaan dalam memahami hadits riwayat Imam Bukhari.Dalam hal ini Imam Syafi’i, Maliki, dan Hanbali menolak keabsahan perempuan dalam jabatan ini di semua kategori hukum, baik perdata, maupun pidana. Abu Hanifah dan Ibnu Hazm membatasi hanya pada bidang perdata. Sementara itu Ibnu Jarir Ath-Thabari membolehkan perempuan menjadi hakim dalam segala urusan, dan pendapat ini ditolak oleh al-Mawardi.[64] Dengan demikian, masalah ini adalah masalah khilafiyah di antara ulama fiqh.Dalam hal ini al-Qardhawi menyatakan:“Pada dasarnya saya membenarkan hak perempuan dalam hal ini, tetapi harus dengan ketentuan, batasan, dan syarat yang mengikat. Dan saya tidak melihat adanya nash yang tegas melarang wanita menduduki jabatan hakim”[65] sebagaimana firman Allah.[66]Adapun ketentuan, batasan, dan syarat-syarat yang ditetapkan al-Qardhawi bagi perempuan yang menduduki jabatan hakim adalah:Pertama: mencapai usia pantas untuk menduduki jabatan berat ini, tidak dalam keadaan hamil ketika menjalankan tugasnya, tidak dalam masa siklus bulanannya, tidak dalam masa training, berengalaman, sehat jasmani, anak-anaknya sudah dewasa, yakni tidak disibukkan dengan urusan anak-anak dan suaminya. Dengan demikian, usia pantas yang dimaksud adalah usia matang.Kedua: ahli, dalam arti memiliki kemampuan diri, kemampuan keilmuan dan berakhlak baik. Sebab, para sahabat dan ulama setelahnya menghindarkan diri dari jabatan ini.[67]Ketiga: keberadaan wanita sebagai hakim tersebut memang atas dasar permintaan masyarakat, yakni demi kemajuan masyarakat itu sendiri dan bukan untuk kepentingan pribadi perempuan. Dengan kata lain tidak boleh perempuan menjadi hakim pada sebuah masyarakat yang tidak memperbolehkan perempuannya menyetir mobil.[68]Selain itu al-Qardhawi juga menyatakan:“Pada masyarakat yang berperadaban kita bisa berfatwa diperbolehkannya perempuan  menjadi hakim, sebab masyarakat memang membutuhkannya. Bahkan kebutuhan inilah yang mewajibkannya. Apalagi jika tidak ada laki-laki yang mampu mengambil peran ini. Dalam keadaan demikian, dan kepada masyarakat yang berperadaban, saya mengatakan tidak ada hukum yang melarang perempuan menjadi hakim. Lagi pula tidak semua orang bahkan perempuan mempunyai kemampuan sebagai hakim. Syarat-syarat, ketentuan dan batasan tersebut tidaklah ringan, dan hanya yang mampu saja dapat melakukannya.”[69] F.     KesimpulanMelalui uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Yusuf Al-Qardhawi memandang kedudukan perempuan dalam sistem politik sama halnya dengan laki-laki. Ia menyejajarkan kaum perempuan dan kaum laki-laki, karena dalam masalah politik keduanya memiliki hak yang sama. Menurut al-Qardhawi, perempuan dewasa adalah seorang mukallaf secara utuh, yang dituntut untuk beribadah kepada Allah, menegakkan agama-Nya, dan berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar, seperti halnya kaum laki-laki, demikian pula dalam hal kenegaraan.Pandangan al-Qardhawi tentang status perempuan dalam sistem  politik Islam dilihat sepintas nampaknya bertentangan dengan persyaratan-persyaratan yang ditetapkan ulama salaf. Mereka menetapkan salah satu syarat untuk menjadi seorang pemimpin adalah seorang laki-laki, artinya perempuan tidak boleh menjadi pemimpin.Al-Qardhawi membolehkan perempuan menjalankan peran sosial sebagai hakim dengan beberapa syarat dan ketentuan-ketentuan khusus. Karena menurutnya, posisi tersebut tidaklah bertentangan dengan kepentingan sosial. Bahkan sebaliknya, kepentingan sosial justru membutuhkan keterlibatan perempuan. Dengan ini, dapat dikatakan bahwa fatwa di atas muncul karena adanya pengaruh sosial politik. Dalam hal ini, al-Qardhawi tergolong moderat. Sedangkan dalam masalah presiden, dewan perwakilan sama sekali tidak identik dengan kepemimpinan seorang khalifah atau amirul mu’minin yang bersifat individu melainkan kepemimpinan presiden, dewan perwakilan yang berkembang saat ini bersifat kolektif tidak bersifat individu.                DAFTAR PUSTAKAAl-Bahasnawi, Salim Ali. 1996. Ash-Shar’iyah Al-Muftara ‘Alayhā. Terj. Mustolah Maufur. Wawasan Sistem Politik Islam. Cet. I. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.Al-Mawardi, Imam. 1960. Al-Ahkāmu Al-Sulṭāniyyatu. Cet. I. Dār al-Fikr.Al-Qaradhawi, Yusuf. 1995. Hadyul Islām Fatāwī Mu’āṣirah. Terj. As’ad Yasin. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jilid 2. Cet. I. Jakarta: Gema Insani Press.Nandang Burhanuddin. 2003. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2016. Al-Barlamān fī al-Daulah al-Ḥadiṡiyyah al-Muslimah. Terj. Masturi Irham & Malik Supar. Parlemen di Negara Islam Modern. Cet. I. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.Baharuddin. 2010. Eksistensi Politik Perempuan dalam Pandangan Ulama Tafsir.  Jurnal Studi Gender dan Islam. Vol. III. No. 1.Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.Bukhari, Imam. Shahih Al-Bukhārī. Vol. 5. No. 4425. Terj. Mahmoud Matraji. Beirut: Dār al-Fikr.Diana, Rashda. 1430.. Partisipasi Politik Muslimah dalam Pandangan Yusuf Qardhawi. Jurnal Tsaqafah. Vol. 5. No. 2. Dhulqa’dah.HR, Ridwan. 2007. Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan. Cet. I. Yogyakarta: FH UII Press.Iqbal, Muhammad. 2014. Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin politik Islam. Jakarta: Prenada Media Group.Istibsyaroh. 2016. .Perempuan Berpolitik: Argumen Kesetaraan Hak Politik Perempuan dalam Islam. Cet. I. Malang: Kalimetro Intelegensia.Jewad, Haifaa A. 2002. Otentisitas Hak-Hak Perempuan: Perspektif Islam atas Kesetaraann Jender. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.Kulsum, Ummi. 2011. Peran Sosial Perempuan Perspektif Yusuf Al-Qardhawi. Tesis. Surabaya: IAIN Sunan Ampel.Naqiyah, Najlah. 2005. Otonomi Perempuan. Cet. I. Malang: Bayumedia Publishing.Ridwan. 2008. Kepemimpinan Politik Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jurnal Yin Yang. Vol. 3. No. 1. Jan-Jun.Sa’dawi, 2009. Amru Abdul Karim. Qaḍāyā al-Mar’ah fī Fiqh al-Qarḍāwī. Terj. Muhyiddin Mas Rida. Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi. Cet. I. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.Warjiyati, Sri. 2016. Partisipasi Politik Perempuan Perspektif Hukum Islam. Jurnal Ad-Daulah. Vol. 6. No.1. AprilWirdawati. 2015. Hak Politik Perempuan dan Permasalahannya. Jurnal Ilmu dan Budaya. Vol. 39. No. 46. JuliZainuddin, M. dan Ismail Maisaroh. 2005. Posisi Wanita dalam Sistem Politik Islam (Telaah Terhadap Pemikiran Politik Yusuf Al-Qardhawi). Mimbar Jurnal. Vol. XXI. No. 2. April-JuniZawawi, Abdullah. 2015. .Politik dalam Perspektif Islam. Jurnal Ummul Qura. Vol V. No. 1 Maret.http://www.muslimah.co.id/fiqih/2016/01/22/bolehkah-perempuan-menjadi-hakim, diakses pada 75 juni 2021, Pukul 15:23 WIB.[1] Najlah Naqiyah, Otonomi Perempuan, Cet. I, (Malang: Bayumedia Publishing, 2005), hlm. 216[2] Landasan konstitusional UUD 1945 dan landasan operasional GBHN 1978, 1983, 1988 dan 1993 mengakui perlunya meningkatkan peranan kaum perempuan dalam pembangunan nasional.[3] Wirdawati, Hak Politik Perempuan dan Permasalahannya, Jurnal Ilmu dan Budaya, Vol. 39, No. 46, Juli 2015, hlm. 5429.Bunyi Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”[4] Fuqaha adalah orang-orang yang mendalami ilmu fiqh, bentuk jama’ dari kata faqih.[5] M. Zainuddin, dan Ismail Maisaroh, Posisi Wanita dalam Sistem Politik Islam (Telaah Terhadap Pemikiran Politik Yusuf Al-Qardhawi), Mimbar Jurnal, Vol. XXI, No. 2, April-Juni 2005, hlm. 178.[6] QS. An-Nisā: 34.[7] Imam Bukhari, Shahih Al-Bukhārī, Vol. 5, No. 4425, Terj. Mahmoud Matraji, (Beirut: Dār al-Fikr), hlm. 588-589.[8] Istibsyaroh, Perempuan Berpolitik: Argumen Kesetaraan Hak Politik Perempuan dalam Islam, Cet. I, (Malang: Kalimetro Intelegensia, 2016), hlm. 1.[9] Mukallaf yaitu orang muslim yang dikenai kewajiban untuk menjalankan syariat Islam dan menjauhi larangan-larangan agama karena ia telah dewasa dan berakal (baligh) serta telah mendengar seruan agama.[10] Amru Abdul Karim Sa’dawi, Qaḍāyā al-Mar’ah fī Fiqh al-Qarḍāwī, Terj. Muhyiddin Mas Rida, Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009), hlm. 3.[11] Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku I, terj. Cecep Taufikurrahman dan. Nandang Burhanuddin, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003), hlm. 9-10.[12] Yusuf Al-Qaradhawi, Perjalanan Hidupku I …., hlm. 133.[13] M. Zainuddin, dan Ismail Maisaroh, Posisi Wanita dalam Sistem Politik Islam …., hlm. 186.[14] Rashda Diana, Partisipasi Politik Muslimah dalam Pandangan Yusuf Qardhawi, Jurnal Tsaqafah, Vol. 5, No. 2, Dhulqa’dah 1430, hlm. 291.[15] Rashda Diana, Partisipasi Politik Muslimah …., hlm. 291.[16] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1998), hlm. 9.[17] Ridwan HR, Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan, Cet. I, (Yogyakarta: FH UII Press, 2007), hlm. 74-75.[18] Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin politik Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2014), hlm. 3.[19] Abdullah Zawawi, Politik dalam Perspektif Islam, Jurnal Ummul Qura, Vol. V, No 1, Maret 2015, hlm. 88.[20] Muhammad Iqbal, Fiqih Siyasah …., hlm. 4.[21] Salim Ali al-Bahasnawi, Ash-Shar’iyah Al-Muftara ‘Alayhā, Terj. Mustolah Maufur, Wawasan Sistem Politik Islam, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1996), hlm. 23.[22] Salim Ali al-Bahasnawi, Ash-Shar’iyah Al-Muftara ‘Alayhā…., hlm. 23.[23] Abdullah Zawawi, Politik dalam …., hlm. 98.[24] Baharuddin, Eksistensi Politik Perempuan dalam Pandangan Ulama Tafsir,  Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. III, No. 1, 2010, hlm. 5.[25] Ridwan, Kepemimpinan Politik Perempuan dalam Literatur Islam Klasik, Jurnal Yin Yang, Vol. 3, No. 1, Jan-Jun 2008, hlm. 3.[26] Kesepakatan kata atau permufakatan bersama (mengenai pendapat, pendirian, dan sebagainya) yang dicapai melalui kebulatan suara.[27] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Al-Barlamān fī al-Daulah al-Ḥadiṡiyyah al-Muslimah, Terj. Masturi Irham & Malik Supar, Parlemen di Negara Islam Modern, Cet. I, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2016), hlm. 283.[28] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Al-Barlamān fī …., hlm. 283.[29] Haifaa A. Jewad, Otentisitas Hak-Hak Perempuan: Perspektif Islam atas Kesetaraann Jender, (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), hlm. 281.[30] Khalifah adalah gelar yang diberikan untuk pemimpin umat Islam setelah wafatnya Rasulullah saw.[31] QS. An-Nisā: 34.[32] QS. Al-Baqarah: 228.[33] Istibsyaroh, Perempuan Berpolitik …., hlm. 19.[34] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Al-Barlamān fī …., hlm. 283.[35] QS. At-Taubah: 71.[36] QS. At-Taubah: 67.[37] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Al-Barlamān fī …., hlm. 284.[38] QS. Al-Baqarah: 233.[39] Ali Muhammad Ash-Shallabi, Al-Barlamān fī …., hlm. 285.[40] QS. At-Taubah: 71.Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”[41] Sri Warjiyati, Partisipasi Politik Perempuan Perspektif Hukum Islam, Jurnal Ad-Daulah, Vol. 6, No.1, April 2016, hlm. 23.[42] Amru Abdul Karim Sa’dawi, Qaḍāyā al-Mar’ah …., hlm. 238.[43] M. Zainuddin, dan Ismail Maisaroh, Posisi Wanita dalam Sistem Politik Islam …., hlm. 189.[44] Ummi Kulsum, Peran Sosial Perempuan Perspektif Yusuf Al-Qardhawi, Tesis, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel, 2011), hlm. 59.[45] Teks ayatnyaاَلرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاۤءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعْضَهُمْ عَلٰى بَعْضٍ وَّبِمَآ اَنْفَقُوْا مِنْ اَمْوَالِهِمْ ۗ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ۗوَالّٰتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِى الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّ ۚ فَاِنْ اَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا ۗاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيْرًاArtinya : kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka,[46] Yusuf al-Qardhawi, Hadyul Islām Fatāwī Mu’āṣirah, Terj. As’ad Yasin, Fatwa-Fatwa Kontemporer, Jilid 2, Cet. I, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm. 528.[47] QS. Al-Baqarah: 228.Artinya: “…Dan bagi laki-laki (suami) mempunyai satu kelebihan derajat dari perempuan (istrinya)…”[48] Teks haditsnyaلَنْ يُفْلِحَ قَوْمٌ وَلَّوْا أمْرَهُمُ امْرَأَةً[49] Yusuf al-Qardhawi, Hadyul Islām …., hlm. 529.[50] Amru Abdul Karim Sa’dawi, Qaḍāyā al-Mar’ah …., hlm. 242.[51] Yusuf al-Qardhawi, Markaz al-Mar’ah fī al-Hayāh al-Islamiyyah, (Kairo; Maktabah Wahbah, 1996), hlm. 32.[52] Artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu ….”[53] Yusuf al-Qardhawi, Hadyul Islām …., hlm. 525.[54] Qishash adalah istilah dalam hukum Islam yang berarti pembalasan (memberi hukuman yang setimpal), mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan, hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh.[55] Yusuf al-Qardhawi, Hadyul Islām …., hlm. 544.&

References

Al-Bahasnawi, Salim Ali. 1996. Ash-Shar’iyah Al-Muftara ‘Alayhā. Terj. Mustolah Maufur. Wawasan Sistem Politik Islam. Cet. I. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Al-Mawardi, Imam. 1960. Al-Ahkāmu Al-Sulṭāniyyatu. Cet. I. Dār al-Fikr. Al-Qaradhawi, Yusuf. 1995. Hadyul Islām Fatāwī Mu’āṣirah. Terj. As’ad Yasin. Fatwa-Fatwa Kontemporer. Jilid 2. Cet. I. Jakarta: Gema Insani Press. Nandang Burhanuddin. 2003. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Ash-Shallabi, Ali Muhammad. 2016. Al-Barlamān fī al-Daulah al-Ḥadiṡiyyah al-Muslimah. Terj. Masturi Irham & Malik Supar. Parlemen di Negara Islam Modern. Cet. I. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Baharuddin. 2010. Eksistensi Politik Perempuan dalam Pandangan Ulama Tafsir. Jurnal Studi Gender dan Islam. Vol. III. No. 1. Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bukhari, Imam. Shahih Al-Bukhārī. Vol. 5. No. 4425. Terj. Mahmoud Matraji. Beirut: Dār al-Fikr. Diana, Rashda. 1430.. Partisipasi Politik Muslimah dalam Pandangan Yusuf Qardhawi. Jurnal Tsaqafah. Vol. 5. No. 2. Dhulqa’dah. HR, Ridwan. 2007. Fiqih Politik: Gagasan, Harapan, dan Kenyataan. Cet. I. Yogyakarta: FH UII Press. Iqbal, Muhammad. 2014. Fiqih Siyasah Kontekstualisasi Doktrin politik Islam. Jakarta: Prenada Media Group. Istibsyaroh. 2016. .Perempuan Berpolitik: Argumen Kesetaraan Hak Politik Perempuan dalam Islam. Cet. I. Malang: Kalimetro Intelegensia. Jewad, Haifaa A. 2002. Otentisitas Hak-Hak Perempuan: Perspektif Islam atas Kesetaraann Jender. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Kulsum, Ummi. 2011. Peran Sosial Perempuan Perspektif Yusuf Al-Qardhawi. Tesis. Surabaya: IAIN Sunan Ampel. Naqiyah, Najlah. 2005. Otonomi Perempuan. Cet. I. Malang: Bayumedia Publishing. Ridwan. 2008. Kepemimpinan Politik Perempuan dalam Literatur Islam Klasik. Jurnal Yin Yang. Vol. 3. No. 1. Jan-Jun. Sa’dawi, 2009. Amru Abdul Karim. Qaḍāyā al-Mar’ah fī Fiqh al-Qarḍāwī. Terj. Muhyiddin Mas Rida. Wanita dalam Fikih Al-Qaradhawi. Cet. I. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Warjiyati, Sri. 2016. Partisipasi Politik Perempuan Perspektif Hukum Islam. Jurnal Ad-Daulah. Vol. 6. No.1. April Wirdawati. 2015. Hak Politik Perempuan dan Permasalahannya. Jurnal Ilmu dan Budaya. Vol. 39. No. 46. Juli Zainuddin, M. dan Ismail Maisaroh. 2005. Posisi Wanita dalam Sistem Politik Islam (Telaah Terhadap Pemikiran Politik Yusuf Al-Qardhawi). Mimbar Jurnal. Vol. XXI. No. 2. April-Juni Zawawi, Abdullah. 2015. .Politik dalam Perspektif Islam. Jurnal Ummul Qura. Vol V. No. 1 Maret. http://www.muslimah.co.id/fiqih/2016/01/22/bolehkah-perempuan-menjadi-hakim, diakses pada 75 juni 2021, Pukul 15:23 WIB.

Downloads

Published

2021-09-27

How to Cite

Trisnani, A., Windiarti, W., & Sa’adah, H. (2021). Peran Perempuan dalam Politik menurut Yusuf Al-Qardhawi. Kalimah: Jurnal Studi Agama Dan Pemikiran Islam, 19(2), 209–228. https://doi.org/10.21111/klm.v19i2.6412

Issue

Section

Articles