Jaringan Komunikasi Politik yang Dipilih Kepala Daerah dalam Proses Perumusan RAPBD Kota Banjarbaru Tahun 2019

Authors

  • Muhammad Ramadhani Muthahhari Lambung Mangkurat University Banjarmasin

DOI:

https://doi.org/10.21111/ejoc.v5i1.3948

Keywords:

Komunikasi Politik, Jaringan Komunikasi, Walikota, Pemerintahan Terbelah, RAPB, , Political Communication, Communication Networks, Divided Government

Abstract

Abstrak Kepala daerah pemenang kontestasi pilkada dari jalur independen yang sebenarnya tidak memiliki basis pendukung partai politik merupakan representasi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai lembaga politik. Hal tersebut berimpliasi pada perbedaan pandangan antara pihak eksekutif yakni Kepala Daerah dengan pihak legislatif yakni anggota DPRD dalam berbagai pandangan politik dan kepentingan dalam proses perumusan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus deskriptif. Fokus penelitian ini adalah mengenai jaringan komunikasi politik seorang Kepala Daerah ketika dihadapkan pada konstelasi “Pemerintahan Terbelah” dalam perumusan RAPBD di Kota Banjarbaru tahun 2019. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi politik Walikota sebagai pihak eksekutif dengan DPRD sebagai pihak legislatif dalam rangka pembahasan APBD cenderung lebih menampilkan pola komunikasi informal. Hal-hal yang berkaitan dengan negosiasi dan lobi praktis dilakukan secara informal antara Tim Anggaran Pemerintah Daerah sebagai “perwakilan pemerintah daerah” dengan anggota dewan yang menangani anggaran. Walikota hanya melakukan komunikasi formal dengan anggota dewan ketika rapat paripurna pembahasan rancangan anggaran. Jaringan komunikasi informal yang digunakan oleh Walikota dapat dinyatakan berhasil karena mampu menghindari ‘konflik terbuka’ dengan anggota dewan yang memiliki berbagai kepentingan politik yang berbeda dan bisa mengganggu proses perumusan rancangan APBD. AbstractThe regional head, which is in fact an independent party who won the regional election without the supports of political parties, represents the Regional House of Representatives (DPRD) as a political institution. This leads to differences in political views and concerns between the executive, i.e. the regional head, and the legislative, i.e. the house, in designing the regional budget. This study used qualitative method with descriptive case study approach. The focus was the political communication network of the regional head, particularly when he encountered “Split Governance” in designing the 2019 RAPBD of  Banjarbaru. The results showed that the political communication of the mayor as the executive and the house as the legislative in designing the budget tended to be informal. The budgeting teams as “the representatives of regional government” practically conducted negotiations and lobies informally. The mayor only communicated formally with the house during the plenary sessions of budget design. It can be said that the informal communication network of the mayor works since it can avoid him from opening a conflict with the budgeting team of the house, who has different political interests, that can lead to the disruption of budget designing.

Author Biography

Muhammad Ramadhani Muthahhari, Lambung Mangkurat University Banjarmasin

Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

References

Abdullah, S. (2012a). Perilaku Oportunistik Legislatif dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya: : Bukti Empiris dari PenganggaranPemerintah Daerah di Indonesia. Text.Abdullah, S. (2012b). Perilaku Oportunistik Legislatif dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya: Bukti Empiris dari Penganggaran Pemerintah Daerah di Indonesia. Text.Indrananto, C. (2012). Pemimpin Daerah Sebagai Agen (Dramaturgi Dalam Komunikasi Politik Walikota Solo Joko Widodo). Depok: Universitas Indonesia.Kaloh, J. (2007). Mencari bentuk otonomi daerah: suatu solusi dalam menjawab kebutuhan lokal dan tantangan global. Rineka Cipta.Lee Kaid, L. (2015). Handbook Penelitian Komunikasi Politik. Bandung: Nusa Media (Terjemahan).Littlejohn, S. W., & Foss, K. A. (2009). Teori Komunikasi, Theory of Human Communication. Saiemba Humanika. Jakarta.Prihantika, I., & Hardjosukarto, S. (2012). The causal map of the mayor’s policies on regional competitiveness. Bisnis & Birokrasi Journal, 18(1).Rosit, M. (2012). Strategi Komunikasi Politik Dalam Pilkada (Studi Kasus Pemenangan Pasangan Kandidat Ratu Atut dan Rano Karno Pada Pilkada Banten 2011). Tesis. Jakarta: Universitas Indonesia.Sarman, M. (2015). Pilkada Serentak: Quo Vadis Kedaulatan Rakyat. Banjarmasin: ProgramMagister Sains Administrasi Pembangunan Universitas Lambung Mangkurat.Sarman, M. (2019). Political Banality in Indonesia Post-New Order. J. Pol. & L., 12, 64.Yuniarti, L. (2015). Konstruksi Pemberitaan “Konflik Basuki Tjahaha Purnama (Gubernur DKI Jakarta) dan DPRD” di Media Online (Analisis Framing Pada Kompas. Com Dan Viva. co. id Edisi 28 Februari-5 Maret 2015). University of Muhammadiyah Malang.

Downloads

Published

2020-06-15